Jogja – Istilah wastra merujuk pada kain tradisional yang menjadi bagian dari budaya nenek moyang. Dalam perkembangannya,
istilah ini sering bersanding dengan kata nusantara untuk mempertegas identitas lokal Indonesia, mengacu pada gugusan kepulauan yang kini membentuk negara Indonesia.
Dengan demikian, wastra nusantara mencakup semua jenis kain tradisional asli Indonesia yang sarat nilai budaya.
Webinar bertema Wastra Nusantara dalam Pengarsipan Sastra Daerah berlangsung sebagai bagian dari agenda Festival Sastra Yogyakarta 2024 berlangsung pada Kamis (28/11/2024).
Acara dibuka dengan sambutan pembicara kunci Kepala Dinas Kebudayaan Yogyakarta, Yetti Martanti, yang menyampaikan harapannya agar wastra tetap dilestarikan dan terus berkembang.
“Pelestarian wastra merupakan bagian penting dari kebudayaan kita dan harus diwariskan ke generasi mendatang,” ujarnya.
Yetti menambahkan, ”Sastra bukan sekadar dokumen tulis yang statis, namun cara pandang komprehensif membuatnya dinamis dalam proses aktualisasinya.
Di sisi lain, tahun 2025 Kota Yogyakarta menjadi tuan rumah dari kegiatan Jaringan Kota Pusaka Indonesa (JKPI), sehingga ruang daring ini menjadi media pengenalan bagi masyarakat luas.
“Bagian penting yang perlu diketahui bahwa Yogyakarta dengan latar sejarah kota kerajaan, hadir secara nyata dalam jejaring kota-kota kerajaan di Indonesia dengan membawa misi pelestarian, pengembangan, dan pemanfaatan yang adaptif bersama masyarakat”.
Webinar ini menghadirkan dua narasumber, yakni Nanang Asfarinal (Direktur Eksekutif JKPI) dan Sri Ratna Saktimulya (Ketua Pusat Studi Kebudayaan UGM), dengan moderator Fajar Wijanarko (Kurator Keraton Yogyakarta)
Webinar diikuti seratus lebih peserta dari Jejaring JKPI se-nusantara, mahasiswa Perguruan Tinggi, komunitas/organisasi masyarakat, akademisi dan pustakawan serta arsiparis dari berbagai lembaga pemerintah di Indonesia.
Sri Ratna Saktimulya membahas wastra dari perspektif sastra klasik, khususnya dalam tradisi tulis Kadipaten Pakualaman.
Ia menjelaskan bagaimana deskripsi kain dalam kutipan naskah untuk menggambarkan busana tokoh penting, seperti dalam Serat Centini Kadipaten (1815).
Salah satu kutipan menggambarkan keindahan batik dan kain tradisional yang melekat dalam aturan busana pernikahan bangsawan.
“Sami basahan sedaya, dodote mawarni-warni, bathik Modang Semukiran miwah sembagi bang kuning” yang berarti “semuanya memakai busana basahan kain dodotnya beraneka ragam. Batik Modang Semukiran dan kain sembagi merah kuning.”
Saktimulyaa menambahkan bahwa setiap elemen wastra—mulai dari pemilihan kain, alat yang digunakan, hingga motif—memiliki makna dan tujuan tertentu.
“Makna-makna tersebut menjadi cerminan nilai budaya dan estetika lokal,” ungkap dosen UGM yang juga seorang sastrawan Kadipaten Pakualaman ini.
Nanang Asfarinal melengkapi dengan pembahasan mengenai keunikan corak wastra dari berbagai daerah di Nusantara. Ia menekankan bahwa setiap corak memiliki roh dan makna simbolis yang memperkaya keindahan dan nilai filosofi pemakainya.
*Wastra sebagai Diplomasi dan Tantangan Pelestarian*
Selain sebagai warisan budaya, wastra juga dipandang sebagai alat diplomasi.
“Promosi budaya melalui wastra dapat menjadi simbol persahabatan antarnegara,” kata Asfarinal. Namun, ia juga mengungkapkan keprihatinan terkait beberapa warisan wastra yang mulai punah akibat tantangan ekonomi dan ekologis, serta kurangnya minat dari generasi muda.
Salah satu isu yang disoroti adalah pengakuan songket sebagai warisan dunia oleh Malaysia, meskipun asal-usulnya dari Indonesia.
Hal ini menunjukkan pentingnya upaya pengarsipan dan pelestarian wastra agar tetap menjadi identitas budaya bangsa.
Webinar ini menjadi bagian dari langkah menuju Jaringan Kota Pusaka Indonesia 2025, yang berupaya memperkuat peran warisan budaya, termasuk wastra, dalam membangun kesadaran dan apresiasi generasi mendatang terhadap nilai-nilai lokal.