Berstatus sebagai Saksi, Yasona H Laoly dilarang Keluar Negeri

Jakarta – Setelah menetapkan Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto sebagai tersangka, Komisi Pemberantasan Korupsi membidik Yasonna H. Laoly.

 

Hal itu, sesuai dengan Surat Keputusan Nomor 1757 yang terbit pada 24 Desember 2024. KPK meminta Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan mencegah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia periode 2014-2024 itu serta Hasto bepergian ke luar negeri.

 

Pada hari yang sama, KPK menetapkan Hasto dan kader PDIP, Donny Tri Istiqomah, sebagai tersangka dalam kasus suap terhadap mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan; dan mantan anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum, Agustiani Tio, senilai S$ 57.350 atau sekitar Rp 600 juta. Duit itu diberikan melalui staf Hasto, Saeful Bahri.

 

Suap ini ditujukan guna memuluskan proses pergantian antarwaktu (PAW) Harun Masiku sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat untuk menggantikan Nazarudin Kiemas yang meninggal.

 

Jatah PAW itu seharusnya diperoleh Riezky Aprilia yang mendulang suara di bawah perolehan Nazarudin dalam Pemilihan Umum 2019. KPK juga menetapkan Hasto sebagai tersangka perintangan penyidikan atau obstruction of justice.

 

Berbeda dengan Hasto yang sudah menyandang gelar tersangka, Yasonna dicegah dalam kapasitasnya sebagai saksi.

 

Juru bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto, mengatakan alasan pencegahan Yasonna ke luar negeri adalah penyidik membutuhkan keterangan mantan Menkumham itu.

 

“Semua pihak yang dicegah pergi ke luar negeri dibutuhkan keterangannya di dalam negeri,” katanya pada Ahad, 29 Desember 2024, seperti dikutip dari tempo.co

 

Tessa menyebutkan tindakan yang dilakukan penyidik dalam mengambil keputusan sudah memiliki dasar hukum yang tepat, termasuk melarang Yasonna ke luar negeri.

 

“Ada prosedurnya sebelum itu diajukan dan disetujui pimpinan KPK untuk melakukan pencegahan yang jelas,” ujarnya.

 

Tessa mengatakan orang-orang yang dipanggil sebagai saksi oleh penyidik pasti memiliki korelasi dengan perkara yang sedang ditangani. Termasuk apabila ditemukan adanya indikasi keterlibatan, orang yang bersangkutan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.

 

“Semua pihak, bukan cuma yang disebut. Semua pihak yang bertanggung jawab tentu akan kami proses sesuai dengan aturan hukum,” ucapnya.

 

Sebelum larangan ke luar negeri terbit, Yasonna, yang kini menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, pernah diperiksa KPK pada 18 Desember 2024.

 

Pemeriksaan yang berlangsung di Gedung Merah Putih KPK itu bertujuan mencari data perlintasan Harun Masiku.

 

“Tidak, tidak ada (pertanyaan soal keberadaan Harun Masiku),” kata Yasonna di Gedung Merah Putih KPK, Rabu, 18 Desember 2024, seperti dilansir dari Antara.

 

Yasonna menyatakan, pertanyaan yang diajukan penyidik KPK dalam pemeriksaan terkait dengan kapasitasnya sebagai Menkumham.

 

“Saya menyerahkan data tentang perlintasan Harun Masiku. Itu saja,” ujarnya.

 

Saat KPK menggelar operasi tangkap tangan pada 8 Januari 2020, Direktorat Jenderal Imigrasi di bawah naungan Menkumham menyebutkan Harun berada di Singapura.

 

 Pernyataan itu bertolak belakang dengan temuan majalah Tempo serta pengakuan istri Harun yang mengungkapkan bahwa pria asal Toraja itu sudah kembali ke Indonesia pada 7 Januari 2020. Fakta itu diperkuat oleh rekaman kamera pengawas (CCTV) di Terminal 2 Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten.

 

Buntut persoalan tersebut, pada 28 Januari 2020, Yasonna mencopot Direktur Jenderal Imigrasi Ronny Sompie. Yasonna kala itu beralasan Ronny dicopot dari jabatannya agar tim independen yang dibentuk untuk menyelidiki kasus Harun dapat bekerja tanpa konflik kepentingan.

 

Ronny pun enggan memberikan komentar soal pencopotannya kala itu. Ia justru mengarahkan pertanyaan tersebut diajukan kepada Yasonna.

 

“Sebaiknya melalui Bapak Menkumham saja, ya. Mohon maaf,” ujar pensiunan perwira tinggi Kepolisian RI tersebut melalui pesan pendek.

 

Lantaran persoalan data Imigrasi itulah, KPK kehilangan jejak Harun hingga kini. Sebab, dalam operasi tangkap tangan pada 8 Januari 2020, Harun masuk radar KPK yang mengungkap posisinya di Hotel Grand Hyatt, Jakarta Pusat.

 

Namun Ketua KPK Setyo Budiyanto mengatakan Hasto diduga memerintahkan penjaga kantornya, Nurhasan, menjemput Harun serta menyuruh membuang telepon selulernya di kali di sekitar Cikini, Jakarta Pusat.

 

Setelah kehilangan jejak Harun karena ponselnya dibuang, tim Kedeputian Penindakan KPK mendapat informasi bahwa Harun Masiku dan Hasto Kristiyanto bersembunyi di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Jalan Tirtayasa, Jakarta Selatan.

 

 Namun penyelidik dan penyidik lembaga antikorupsi yang hendak masuk ke PTIK untuk mencari Hasto dan Harun ketika itu malah diminta polisi menjalani tes narkoba. Keesokan harinya, penyidik KPK yang hendak menggeledah kantor PDIP di Jakarta Pusat juga dihalang-halangi.

 

Hasto juga ditengarai memerintahkan pengawal pribadinya, Kusnadi, merendam ponselnya saat hendak diperiksa KPK pada 6 Juni 2024.

 

Kaburnya Harun berimbas pada pengusutan kasus oleh KPK ketika itu yang hanya menetapkan tiga orang sebagai tersangka. Wahyu Setiawan dan Agustina Tio ditetapkan sebagai tersangka penerima suap. Sedangkan Saeful Bahri dijerat sebagai pemberi suap. Wahyu, Tio, dan Saeful telah menjalani hukuman penjara. Wahyu divonis 6 tahun, Tio dihukum 4 tahun, dan Saeful dibui 1 tahun 8 bulan.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *