Diskusi Buku The Denial of Death Warnai Festival Sastra Yogyakarta

Jogja, – Festival Sastra Yogyakarta (FSY) pada Jumat (29/11/2024) menggelar diskusi buku The Denial of Death karya Ernest Becker.

Acara yang berlangsung di Danau Senja ini menghadirkan dua narasumber, Praphanca Hary, seorang psikolog, dan Rendra Agusta, peneliti tradisi dan budaya Jawa Kuno. Diskusi dipandu oleh moderator Doel Rohim, bersamaan dengan rangkaian kegiatan FSY lainnya.

Read More

Praphanca Hary menjelaskan inti dari buku ini, yang mendorong manusia untuk menerima kematian sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan.

“Kejujuran adalah hal paling menyakitkan, tetapi menjadi kunci untuk menjalani hidup dengan keberanian,” ungkapnya.

Ia juga menyoroti bagaimana buku ini menawarkan cara untuk menghadapi konflik batin manusia antara keberanian untuk hidup jujur atau melarikan diri dari kenyataan.

Sementara itu, Rendra Agusta mengajak peserta memahami kompleksitas hidup melalui perspektif budaya Jawa. Menurutnya, The Denial of Death mengajarkan pentingnya kejujuran, bahkan di tengah dunia yang kerap mendorong manipulasi diri.

“Buku ini tidak hanya relevan secara universal, tetapi juga sejalan dengan ajaran-ajaran lokal yang menekankan harmoni dengan diri sendiri dan lingkungan,” tuturnya.

*Antusiasme Peserta*
Diskusi berlangsung hangat dengan antusiasme tinggi dari peserta. Dalam sesi tanya jawab, Dewa (35 th), salah seorang peserta, memberikan apresiasi mendalam terhadap relevansi buku ini dengan isu kesehatan mental dan krisis eksistensial generasi muda.

“The Denial of Death mengajarkan keberanian untuk menjadi diri sendiri, berani berkata jujur, dan menerima risiko yang muncul. Buku ini sangat relevan dengan tantangan generasi muda saat ini,” kata Dewa.

Ia juga memuji FSY sebagai ajang yang mampu memadukan literasi dan kebudayaan dengan isu-isu kontemporer.

*Literasi dan Kebudayaan*
FSY tahun ini tidak hanya mempromosikan literasi, tetapi juga menunjukkan bagaimana kebudayaan dapat menjawab keresahan aktual generasi muda.

Dengan menyinergikan diskusi sastra dengan perspektif psikologi dan budaya, FSY berhasil menarik perhatian generasi muda dan mendorong mereka untuk berpikir kritis.

“Kegiatan ini sangat berkontribusi pada gerakan literasi. Jika inisiatif serupa dapat dilakukan di kota-kota lain, tentu akan mendongkrak peringkat literasi kita yang masih rendah,” ujar Michelle Yudita, salah satu peserta.

Ia juga memuji Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta yang berhasil memadukan kebudayaan tradisional dengan isu-isu modern.

Festival Sastra Yogyakarta terus menjadi ruang inspirasi, membuktikan bahwa sastra tidak hanya berbicara tentang masa lalu, tetapi juga mampu menjawab tantangan zaman.

Related posts